Menikmati Dieng di Akhir Pekan

Icus - Deta (penulis) - Lilin, di tepi Telaga Warna
Libur akhir pekan telah tiba dan kami pekan ini merencanakan ke Dieng, bertepatan dengan acara seni Simfoni Dieng. Masukan untuk teman-teman lain memiliki niat untuk ke Dieng pertama kali dan bahkan perlu ijin kantor beberapa hari sebelumnya. Saya sarankan untuk merencakan di bulan Agustus. Ternyata di bulan Agustus ada banyak acara di Dieng. Pada bulan Agustus 2014, kegiatan yang bisa dilakukan oleh para wisatawan antara lain : Minggu I, acara pemotongan rambut gimbal dan Simfoni Dieng; tgl 17 Agustus banyak pendaki gunung melakukan pendakian khusus ke Gunung Prau, Wonosobo di malam menjelang tanggal kemerdekan Indonesia, kegiatan-kegiatan di bulan Agustus diakhiri dengan perayaan seni akbar Dieng Culture Festival V dimeriahkan dengan pertunjukan jazz di alam terbuka Telaga Warna dan upacara pemotongan rambut gimbal di Candi Arjuna. 

Akhir Pekan lalu, tepatnya tgl 9-10 Agustus 2014, saya dan suami, serta 2 teman merencanakan menikmati pagelaran sendratari kolaborasi dengan orkerstra dan gamelan di acara Simfoni Dieng. Kami memesan tiket yang kebetulan bisa dibeli di Yogyakarta (tiket VIP Rp. 100.000), langkah kedua adalah mencari homestay, karena saya memperkirakan meskipun Dieng terkenal dengan kota seribu homestay, tapi karena ini merupakan pengalaman pertama, maka saya mempersiapkan dengan browsing tentang homestay-homestay pilihan wisatawan, mulai dari juara lomba I homestay dan pernah diinapi oleh artis ibukota : Homestay Asoka (telpon, dan sudah full booked), yup ganti Homestay Dieng Pass (telpon, dan sudah full booked), Resto dan Hotel Bu Jono juga full booked. Nah, ke Homestay Juara Harapan I Pengelolaan Homestay se-Jawa Tengah, Homestay Dahlia (ternyata masih ada kamar, saya pesan untuk dua kamar (Single Bed untuk dua orang per kamar Rp. 175.000) Oya, tarif homestsay berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Harga Reguler Rp. 150.000, harga Weekend Rp. 175.000, harga sewaktu event special misal Dieng Culture Festival, kamar di Homestay Dahlia sudah fullbooked dengan harga Rp. 300.000. Jadi jangan kaget, jika pas Anda browsing untuk harga homestay akan diperoleh nominal yang berbeda-beda. Pemilik Homestay Dahlia adalah pak Nuryadi dan bu Iin Pangestuti yang bertempat tinggal di lantai dua. Fasilitas homestay Dahlia : air panas (semua homestay di Dieng pasti menyediakan fasilitas air panas ini), teh dan kopi disediakan dan bebas membuat kapanpun juga, televisi dipusatkan di tengah ruangan homestay (sepengetahuan saya dari 10 orang yang menginap hari itu, tidak ada yang melihat TV, karena kami sudah diasyikan dengan mengunjungi berbagai tempat wisata di Dieng). Oya, fasilitas khusus yang secara tidak langsung diterima oleh wisatawan jika menginap di homestay Dahlia, adalah kita dihadapkan dengan area Candi Arjuna (salah satu situs dan candi yang terkenal di Dieng) kami menuju Candi Arjuna melewati jalan kecil di tengah sawah menuju candi. Hal unik dari homestay di Dieng adalah tidak ada satupun homestay yang memiliki pendingin ruangan / AC hehehehe karena suhu ruang di Dieng bahkan lebih dingin daripada AC. 

Oya, kita tidak dapat mengandalkan ketersediaan transportasi umum untuk mencapai tempat-tempat wisata daerah Dieng. Oleh karena itu, disarankan untuk menyewa motor atau membawa mobil pribadi. Kebetulan sekali, pemilik Homestay mempersilahkan kami untuk menyewa motor selama kami di Dieng. Tarif penyewaan motor Rp. 50.000 per hari/motor. Transportasi umum Yogyakarta-Wonosobo hanya bisa dilakukan dengan travel (tidak ada bus untuk rute tersebut). Selanjutnya untuk persiapan kami memilih transportasi travel untuk perjalanan Yogyakarta-Wonosobo dengan Shuttle Elf Sumber Alam (harga tiket Rp. 45.000) keberangkatan pada jam 14.00 dari Terminal Jombor, Yogyakarta, sekalian menitipkan motor di Terminal Jombor. Ternyata perjalanan Yogyakarta-Wonosobo via Salaman, Magelang sangat menantang karena jalanan yang berkelok-kelok didukung dengan suspense mobil yang tidak nyaman. Saya menahan rasa mual. Pilihan saya menggunakan travel karena kami berempat belum ada yang bisa mengendarai mobil ^_^. Apabila Anda atau teman tim bisa mengendarai penggunaan mobil pribadi akan menambah kenyamanan perjalanan Anda.

Agenda acara kita pertama adalah menghadiri acara Simfoni Dieng (9 Agt 2014) di Dieng Plateau Theatre.Perjalanan dari homestay ke Dieng Plateau Theatre (DPT) menggunakan motor sewaan selama 15 menit. Pagelaran ini memiliki konsep cerita tentang awal keberadaan Dieng yang dimeriahkan oleh ratusan penari dengan berbagai kostum, dengan iringan perangkat music orchestra dan gamelan. Area bagi penonton pertunjukan dibagi menjadi dua bagian, yaitu VIP dan festival. Acara ini juga dimeriahkan Yoda Idol (yang tidak hafal lirik dan membawa smartphone untuk membaca lirik (-_-). 
Sebenarnya pertunjukan tersebut mengundang banyak minat wisatawan, karena kebetulan baru kali ini pagelaran Simfoni Dieng diadakan terpisah dari penyelenggaraan Dieng Culture Festival. Akan tetapi, saya merasa bahwa konsep dari sisi koreografer (cerita, tarian, kostum, dan music) bisa lebih ditingkatkan untuk pertunjukan tahun depan. Keterbatasan area pertunjukan DPT membuat situasi panggung sempit. Selain itu, tiang tiang penyangga DPT menyulitkan para fotografer dalam memotret keseluruhan panggung. Apabila, tahun depan diadakan acara yang sama, diharapkan venue yang lebih memadai. Pada acara ini, panitia diharapkan memberikan batasan yang jelas, tidak cukup dengan pita, serta melakukan pengunjung sampai pada kursi pertunjukan yang menjadi hak mereka. Banyak pengunjung kelas Festival yang berada di kursi kelas VIP (sengaja atau tidak sengaja), sehingga banyak pengunjung kelas VIP tidak kebagian tempat duduk. Apabila di setiap area kelas terdapat panitia pengatur pertunjukkan maka kejadian tersebut dapat diminimalkan. 


Penari Simfoni Dieng 2014 - penggambaran gerak petani bahagia  
Ketangguhan dan Kemantapan langkah penari Simfoni Dieng 2014

Penari Simfoni Dieng 2014 dalam gerakan perang

Rencana kami keesokan harinya menikmati golden sunrise di Bukit Sikunir, Dusun Sembungan, Dieng. Berdasarkan informasi dari pak Nuryadi kami maksimal mulai berangkat dari homestay jam 04.00 supaya bisa mendapatkan moment terbit matahari di Bukit Sikunir (2400 m dpl) yang masih masuk daerah Dusun Sembungan (desa tertinggi di Jawa). Perjalanan dari homestay ke Bukit Sikunir kurang lebih 30 menit, karena udara yang sangat dingin dan jalan dari Kawah Sikidang ke Bukit Sikunir sangat rusak. Penggunaan motor matic dengan body diperpendek cukup menyulitkan kami melalui rute tersebut. Ketika mulai masuk daerah Bukit Sikunir kami membayar tiket masuk Rp. 5000/orang, selanjutnya perjalanan kurang lebih 5 menit kami ditarik karcis parkir motor Rp. 2000/motor. Persiapan yang perlu Anda lakukan sebelum mendaki Bukit Sikunir antara lain : pakaian hangat (jaket dan selendang leher), celana gunung (penggunaan celana jeans akan menyulitkan gerak dan membuat semakin dingin), penutup kepala, kaos tangan, sandal bergerigi atau sepatu kets. Meskipun dengan sandal wedges pun saya yakin Anda bisa mendaki, karena saat itu saya melihat ada beberapa perempuan menggunakan wedges saat mendaki (tapi saya tidak bisa membayangkan sakitnya kaki menggunakan wedges saat mendaki, hehehehe). 

Perjalanan dari kaki sampai ke puncak Bukit kurang lebih 30 menit (perjalanan santai, diselingi istirahat di beberapa titik, maklum tidak pernah mendaki bukit atau gunung sebelumnya, hehehe). Mungkin Anda berpikir, hanya anak-anak muda yang merencakan agenda ini. Ternyata ada orang tua dengan anaknya, bahkan kakek dengan anak dan cucunya mendaki bersama. Kami bertemu di puncak dengan para bapak, ibu dan kakek. Jadi, jika Anda masih muda, cobalah untuk menikmati matahari terbit di atas Bukit Sikunir, cahaya merah oranya, semburat mengawali sebelum bulatan matahari muncul sedikit demi sedikit di batas cahaya, dengan latar belakang gunung gemunung dan bukit-bukit, serta hamparan awan putih. Anda masuk dalam bingkai alam, mengawali hari.


menikmati munculnya matahari dari Bukit Sikunir
Matahari pagi bersanding dengan putih awan dan gunung Sindoro
- golden sunrise, 10 Agt 2014, Bukit Sikunir -
Penting untuk diperhatikan, karena pengunjung Bukit Sikunir di akhir pekan sangat banyak, sangat bijak apabila Anda menikmati terbit matahari tanpa merokok, keterbatasan udara di atas bukit ketinggian 2400an meter dpl tersebut akan membuat para pengunjung akan merasa sangat terganggu karena oksigen yang seharusnya mereka hirup di udara yang sejuk itu, dikotori oleh karbondioksida dan gas beracun dari asap rokok Anda. Bagi saya, omong kosong Anda mensyukuri alam dengan mendaki di atas bukit atau gunung, apabila Anda tidak memperhatikan kebutuhan sesama untuk mendapatkan udara bersih dan sehat. Setelah menikmati keindahan matahari terbit selama 1 jam, kami turun kembali ke kaki bukit dan disambut dengan pertunjukkan musik tradisional di dekat telaga. Sembari menunggu kedua teman kami, maka saya memesan teh hangat di warung serta makan kentang balado. Beberapa wisatawan lain menikmati pop mie hangat. 

Perjalanan obyek wisata berikutnya adalah Telaga Warna, karena obyek tersebut kami lewati sepulang dari bukit Sikunir. Telaga warna memiliki landskap danau yang indah, hanya saja keindahannya agak terganggu oleh sampah dan air yang berbau. Sehingga saya merasa kurang nyaman berada di tepi danau, kecuali untuk berpose saja. 

Ternyata udara dingin, membuat kami mudah kelaparan, hehehehe. Perjalanan pulang pun diselingi dengan makan pagi. Sebenarnya kami ingin makan pagi di Resto Bu Jono yang lumayan terkenal oleh para backpacker dan pernah masuk liputan televisi, tapi ternyata jam 07.00 resto bu Jono masih tutup. Akhirnya, kami ke Rumah Makan Bu Mien, di belakang resto bu Jono. Menu yang disediakan lengkap dari nasi rames, lauk dan sayur baru saja selesai dimasak, serta mie dan nasi goreng. Harga mie dan nasi goreng dalam kisaran Rp. 12.000 – Rp. 17.000. Kami kembali ke homestay jam 09.30, selanjutnya mandi dan packing. Agenda selanjutnya mengunjungi kompleks Candi Arjuna. Kami berjalan melewati pematang sawah di depan homestay menuju Candi Arjuna. Sebenarnya, rute ini bukan rute resmi, kami mengetahui dari obrolan dengan bapak-bapak di depan homestay “lewat, mrika kemawon mbak, nyebrang sawah. Mlebet candi gratis. Manawi lewat gerbang, mangke mbayar mbak” oke deh, kami manut pak ^_^ 

Candi Arjuna terdiri dari sebuah candi utuh, dan beberapa situs candi yang belum lengkap. Secara keseluruhan sebenarnya landskap Candi Arjuna sangat menarik, karena latar belakang bukit-bukit. Serta area candi yang luas. Candi Arjuna merupakan salah satu ikon wisata Dieng, nampak dari perhelatan utama untuk tradisi pemotongan rambut gimbal di Dieng Culture Festival mengambil venue tempat tersebut.
Jasa foto bersama (Rp. 5000/foto) dengan makhluk mitologi Jawa (butho), Anoman, dan teletubies memeriahkan suasana sekitar candi. Interaksi dengan petani di sekitar candi juga sangat mengasyikan, banyak cerita tentang perjuangan mereka bercocok tanam wortel yang terkadang gagal karena hujan es. 

Butho dan Anoman di Candi Arjuna

Butho dalam balutan topeng, setia menunggu pelanggan

Keluarga Pak Sunyoto, salah satu dari
ekian petani wortel di sekitar Candi Arjuna

senyum pak Sunyoto untuk memulai menggarap
lahan wortel yang telah gagal bulan lalu

Navis (5 tahun), cucu pak Sunyoto, salah satu cah Gimbal
ujarnya "jika kelak dipotong, dia hanya ingin dua buah es"

Setelah puas menikmati candi Arjuna, kami segera merencanakan untuk segera pulang ke Yogyakarta. Perjalanan diawali dengan menunggu bus umum di pertigaan Dieng (depan Indomaret) dengan biaya Rp. 12.500 kami menuju Wonosobo kurang lebih 1 jam. Tujuan kami adalah Agen bus Sumber Alam, untuk sarana transportasi kembali ke Yogyakarta. Kami sengaja tidak memesan tiket Sumber Alam terlebih dahulu karena kami belum bisa memprediksi waktu selesai pendakian Bukit dan mengeksplorasi Candi Arjuna, serta lama perjalanan bus kota. Risiko yang terjadi dan sudah menjadi perhitungan adalah kami tidak memperoleh tiket travel ke Yogyakarta. Syukurlah, saya meminta nomor telpon sopir sewaktu kami menggunakan taksi dari Wonosobo ke Dieng. Sehingga, kami mencoba menghubungi sopir tersebut dan meminta informasi tentang ketersediaan taksi ke Yogyakarta. Akhirnya, kami memperoleh taksi kembali ke Yogyakarta dengan tarif Rp. 450.000 (nego). 

Oya, kami pun minta tolong mas Dwi (sopir taksi) untuk mengantarkan kami ke toko oleh-oleh, karena kami berniat membeli carica dan keripik jamur. Toko oleh-oleh menyediakan banyak merk carica dari harga Rp. 25.000 – 65.000 per dus. Rasa carica merk satu dengan yang lain hampir sama, dan harga keripik jamur tiram Rp. 14.000, jamur kuping Rp. 20.000. Perjalanan Wonosobo-Yogyakarta via taksi berlangsung selama 3 jam, tentunya dengan tempat duduk yang lebih lega dan nyaman. 

Resume transportasi, akomodasi, dan logistik liburan Yogyakarta-Dieng 2 hari 1 malam, yaitu :
  1. Transportasi Yogyakarta – Wonosobo dengan travel Sumber Alam Rp. 45.000 
  2. Transportasi Wonosobo – Dieng menggunakan DNA Taksi Wonosobo Rp. 120.000 (argometer)
  3. Homestay Dahlian Rp. 175.000/malam
  4. Sewa motor Rp. 50.000/motor (tidak termasuk bensin)
  5. Makan pagi di Rm. Bu Mien Rp. 15.000 (mie goreng jamur)
  6. Transportasi Dieng – Wonosobo dengan bus kota Rp. 12.500/orang
  7. Transportasi Wonosobo – Yogyakarta dengan DNA Taksi Wonosobo Rp. 450.000
Selamat menikmati keindahan Nusantara, keindahan Jawa Tengah, keindahan Dieng ^_^
Salam santai.....



Bookmark and Share

Kisah Ziarah di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono

“Gedono” tempat itu seakan-akan ada di kepalaku beberapa hari itu. Keinginanku menuju Gedono sebenarnya diawali dengan melihat foto timeline facebook temanku tentang arsitektur yang cantik di sana dan kata temanku kefir yang nikmat. Kefir adalah salah satu jenis minuman probiotik yang diolah oleh suster-suster Gedono dengan bahan alami. Nah, aku menganggap jika Gedono layak masuk daftar tempat wisata kuliner dan ditambah-tambahi dengan wisata rohani. Jadi sebenarnya porsi rohani lebih sedikit daripada wisatanya, hehehehe ^_^ 

Akan tetapi anggapan itu berubah setelah suamiku membelikanku buku dari tokoh favorit inspiratif Romo Mangun dengan judul Wastu Citra. Keinginanku memiliki buku itu karena aku mencoba memahami sosok Romo Mangun sebagai seorang arsitek bukan sebagai biarawan. Tetapi ternyata image beliau tidak bisa lepas dari perenungan yang mendalam dalam merancang sebuah bangunan. Nah, salah satunya adalah kupasan beliau tentang pembangunan Gedono, pas sekali dengan rasa penasaranku, selanjutnya aku merasa bahwa aku perlu mengunjungi tempat ini untuk memuaskan keinginanku dalam meraba dan menapaki segala bentuk hasil perenungan Romo Mangun dalam pembangunan Gedono sekaligus memberikan waktu dalam keheningan. 

Langkah berikutnya adalah pencarian informasi bagaimana cara ke sana tentu saja melalui googling :)
  1. Perjalanan Yogyakarta-Gedono (salatiga) bisa dilakukan dengan beberapa cara melalui agen perjalanan rohani atau mandiri. Rencana kami menggunakan agen perjalanan rohani dengan alasan kami berangkat sabtu jam 16.00 sore dan kemungkinan sampai Gedono malam hari. Berdasarkan informasi yang akau peroleh letak Gedono di dataran tinggi jauh dari akses transportasi, selain itu kami juga belum pernah ke Gedono. Dan kebetulan bulan November adalah musim hujan jadi meminimalkan ribetnya perjalanan dan efisiensi waktu maka kami putuskan menggunakan agen perjalanan wisata rohani dari Yogya salah satunya adalah Ventera Tour link : http://venteratour.weebly.com/ Biaya perjalanan kami (aku dan suami) adalah Rp, 350.000,00 sudah termasuk sopir dan bahan bakar. Jika dibandingan dengan perjalanan menggunakan bus, tentu harga jauh berbeda. Akan tetapi, sebagai cara efisiensi waktu dan tenaga pilihan agen perjalanan bisa dipertimbangkan.
  2. Tiba pada hari H, sopir menjemput kami di rumah dengan mobil Toyota Avansa tepat pada pukul 16.00 dan ternyata memang agen Ventera Tour biasa melayani perjalanan ke Gedono, sehingga kami mendapatkan rute yang lebih singkat melalui Jatinom, Klaten. Jalur yang kami lalui di awal perjalanan nampak baik, akan tetapi memasuki wilayah Jatinom, jalanan mulai rusak dan sebagian besar bisa dianggap rusak parah karena jalan tersebut merupakan akses utama bagi truk pengangkut pasir. Tanpa terasa perjalanan sampai di jalan masuk menuju Gedono (merupakan perbatasan Salatiga – Semarang) dan tiba di Gedono pada pukul 18.45 Kebetulan pintu ruang makan belum ditutup (diberitahukan sebelumnya jika Ruang Makan Pertapaan Gedono tutup pada pukul 19.00, sehingga sebelumnya kami disarankan untuk makan malam dahulu jaga-jaga jika pintu Ruang Makan tutup ^_^ 
  3. Langsung setelah makan malam , kami diminta untuk ikut doa malam pada pukul 19.00 di Kapel dan selanjutnya diantar ke kamar penginapan. 
  4. Kebetulan kami memesan kamar untuk menginap di pertapaan (2 minggu sebelumnya) dengan tujuan untuk mendapatkan keheningan dari rutinitas dan belajar hening bersama dengan suster-suster. Sehingga kami memang sudah memiliki niat untuk mengikuti segala ibadat doa yang dilakukan. Suster-suster di Pertapaan Gedono melakukan ibadat doa tujuh kali dalam sehari dimulai dari doa singkat hingga doa dengan waktu hening. Menurutku doa yang paling berat adalah doa saat “berjaga-jaga” yang dilakukan pada jam 03.15 – 05.00 karena pada jam-jam tersebut merupakan jam yang biasa untuk tidur dan dingin udara di sekitar Pertapaan. Kesanku setelah mengikuti dua ibadat jam 19.00 dan 03.15 adalah keheningan dan tempo lambat mendukung dalam perhatian dan fokus dalam doa. 
  5. Pagi hari kami makan pagi bersama dengan rekan-rekan lain di Ruang Makan, tentunya dengan masakan para suster dan sayuran organic segar. Karena hari itu, hari Minggu acara dilanjutkan dengan doa pagi dan ibadat misa. 
  6. Setelah misa, kami menuju ke Toko Pertapaan Gedono yang ternyata telah banyak dikunjungi umat. Produk makanan minuman hasil racikan suster-suster laris manis, antara lain roti khas Gedono (dari remukan hosti), selai strawberi, selai jambu, roti kering, dan tidak ketinggalan kefir. Sebenarnya ada roti basah, akan tetapi ternyata roti basah sudah laris dibawa untuk diedarkan di sekitar Gua Maria Ambarawa. 
  7. Setelah usai berbelanja (oleh-oleh masuk dalam daftar) kami bersiap untuk pulang kembali ke Yogyakarta, tentu saja dengan transportasi umum. Karena kami tidak terpancang untuk waktu harus sampai di Yogya, jadi kami lalui agenda perjalanan pulang dengan santai. Kemungkinan juga karena efek dari keheningan dalam sehari di Pertapaan Gedono, hehehehe 
  8. Karena jalan dari Pertapaan Gedono ke Terminal Tingkir merupakan area masuk pedesaan maka tidak ada kendaraan yang tersedia langsung, sehingga kami meminta nomor kontak tukang ojek ke Suster Thres. Biaya ojek Pertapaan Gedono – Terminal Tingkir Rp. 15.000,00 dan kami langsung naik bus ke Solo Rp. 10.000,- ; selanjutnya naik bus Solo-Yogya Rp. 10.000,-  
 Ibadat Malam di Kapel Bunda Pemersatu Gedono
Selasar Gedono di malam hari
 
Bunda Maria Kapel Bunda Pemersatu Gedono

Tempat Tidur di Penginapan Tamu Pertapaan Gedono

 
Jadwal Acara Ibadat Harian di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono
Ruang Makan di Pertapaan Gedono

Aku menyiapkan makan pagi :-)

Roti dengan butir coklat dan selai strawbery asli Gedono

Minuman Khas Pertapaan Gedono "Kefir Gedono"

Roti kering khas dari Pertapaan Gedono

Selai strawbery khas Gedono tanpa bahan pengawet

Kesibukan suster trapist melayani pembeli di toko

Pertapaan Gedono sangat direkomendasikan bagi yang mengharapkan suasana hening dalam doa. Bagi yang mengharapkan intropeksi atau merindukan keheningan dalam doa dan masmur. Pertapaan Gedono juga direkomendasikan bagi penikmat bangunan arsitektur berkarakter. Semoga dengan posting ini kalian juga tertular untuk datang di Pertapaan Gedono ^_^ 

Oya, saya sertakan juga beberapa nomor kontak yang mungkin bisa membantu kamu dalam merencanakan perencanaan ke Pertapaan Gedono. 

  • Agen Tour Ziarah Yogyakarta (Ventera) = 0817467518 
  • Suster Thres Pertapaan Gedono = 0811278299 
  • Pertapaan Gedono = 0298 7100615 (Bagi yang berminat menginap di Pertapaan Gedono diharapkan menghubungi minimal 2 minggu sebelumnya dan diharapkan menghubungi suster selain jam doa)
  • Ojek Pertapaan Gedono – Terminal Tingkir (pak Sutari) = 081904860591 
 
Aku dengan latar belakang eksterior bangunan Pertapaan Gedono




salam ziarah


 
Bookmark and Share

Rekomendasi Link Cara Cantik Mengikat Scarf

The BT Standard Tying Scraf for the Adventurous
Scarf terdiri dari berbagai jenis motif dan bahan. Baju berwarna hitam polos dapat dipadupadankan dengan menggunakan scarf berbahan sutra tipis motif bunga diikat di leher maka anda akan terlihat elegan dan ceria. Padanan busana broken white Anda dengan scarf etnik membuat Anda tampil penuh cita rasa seni 
Scarf digunakan untuk melindungi leher dari dinginnya udara sekitar atau disebut juga penangkal hawa dingin. Scarf  bisa juga menjadi asesoris tas, digantung di celana atau menjadi penghias furnitur di acara pesta-pesta. Scarf dapat menjadi hiasan yang digunakan untuk memperindah dan mempercantik penampilan. Beberapa daerah di Indonesia memiliki ciri khas motif kain, termasuk scarf. Jika dahulu scarf menjadi simbol kehormatan seseorang, saat ini scarf hanya digunakan sebagai aksesoris dan juga sebagai cendramata.
Aksesoris merupakan hal kecil namun penting untuk memperindah penampilan. Scarf merupakan aksesoris yang dapat dipadankan dengan kemeja maupun kaus yang menunjang penampilan terutama pada saat musim dingin. scraf juga sangat membantu dalam penampilan hal ini ditentukan oleh pemilihan warna, bentuk dan bahan.
Berikut rekomendasi link tentang variasi mengikat scarf

dan banyak lainnya tersedia informasi di Google ^_^
salam kreasi !
 
 
Bookmark and Share

Imajinasi Keraton Masa Lalu : Candi Ratu Boko



Bulan Juni diawalai dengan wisata candi. Salah satu candi cantik di DI Yogyakarta, yaitu “Ratu Boko”. Keberadaan candi tersebut termasuk dalam Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Kompleks candi Ratu Boko berada 196 meter dpl (jalan yang agak menanjak dan udara sejuk) dan dapat diakses dari kota Jogja melalui jalan raya Prambanan – Piyungan, yaitu dari pertigaan Prambanan ke selatan sejauh kurang lebih 4 km dan mengikuti papan petunjuk menuju candi Ratu Boko. 

Gerbang Kedua dari Candi Ratu Boko

Berbeda dengan peninggalan sejarah pada masa Jawa Kuno dalam bentuk bangunan keagamaan, candi Ratu Boko merupakan kompleks bangunan keraton, yaitu gerbang pintu masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, pagar pelindung, dan beberapa situs yang masih dipelajari untuk memperkirakan fungsinya di masa itu. Berbeda dengan keraton yang didirikan di permukaan landai, keraton candi ratu Boko terletak di dataran tinggi dilengkapi dengan benteng tinggi sehingga terlindungi dari serangan musuh. 

Candi Ratu Boko merupakan situs arkeologi dalam bentuk keraton pada masa Kerajaan Mataram Kuno abad VIII dan dibangun pada masa Dinasti Syailendra oleh Rakai Panangkaran jauh sebelum keberadaan raja Samaratungga (pada masa pendirian candi Borobudur) dan Rakai Pikatan (pendirian candi Prambanan). Berdasarkan naskah kuno ditulis oleh Rakai Panangkaran (746 – 784 SM) pada mulanya bangunan sekitar Ratu Boko disebut dengan Abhayagiri Wihara. Abhaya berarti damai, dan Abhayagiri berarti asrama Buddhist (wihara) yang berada di daerah damai di puncak bukit. Pada periode selanjutnya (856 – 863 SM) Abhayagiri Wihara berubah nama menjadi Walaing Kraton oleh Vasal Rakai bergelai Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Selanjutnya, nama Ratu Boko berasal dari dongeng rakyat setempat. Ratu Boko adalah raja dan merupakan ayah dari Loro Jonggrang dimana merupakan nama dari candi di kompleks candi Prambanan.
Kompleks candi terdiri dari :
  • Gerbang Utama : terdiri dari dua gerbang dimana gerbang pertama terbuat dari batu andesit dan lantai serta dinding terbuat dari batu putih. Gerbang pertama berukuran panjang 12,15 m, lebar 6,90 m, dan tinggi 5,05 m dengan 3 pintu masuk. Sementara gerbang kedua memiliki panjang 18,60 m, lebar 9,00 m, dan tinggi 4,50 m dengan 5 pintu masuk.
Gerbang Pintu Masuk Pertama keraton (Ratu Boko) terdiri dari tiga pintu masuk

Penulis di Gerbang Pintu Masuk Pertama keraton (Ratu Boko) terdiri dari tiga pintu masuk   

 
Pagar perlindungan kraton Ratu Boko tinggi dan kokoh

  • Tempat pengabuan : diperkirakan dipergunakan sebagai tempat kremasi / pengabuan dalam upacara Tawur Agung bagi agama Hindu yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Akan tetapi, hal tersebut masih memerlukan penelitian yang mendalam, apakah situs tersebut merupakan tempat kremasi, atau altar, atau kemungkinan merupakan tenpat sesajen.
Salah satu situs dalam keraton Ratu Boko sebagai tempat kremasi (masih dipelajari)
  • Paseban : merupakan ruang tunggu bagi tamu raja. Terdiri dari dua batur, sisi Paseban Timur dan Paseban Barat dan diperkirakan saling berhadapan satu sama lain.

Ruang tunggu tamu raja (paseban) keraton Ratu Boko
  • Pendopo : terdapat di bagian tengah  bangunan yang memiliki pilar dan dinding, dimana diperkirakan terbuat dari bahan yang mudah rusak misal kayu. Oleh karena itu, hanya tersisa batu sebagai sisa bangunan.

Pendopo kraton Ratu Boko tampak luar

Pendopo kraton Ratu Boko tampak dalam
  • Taman Pemandian : dibagi menjadi dua, yaitu utara dan selatan dimana keduanya dipisahkan oleh dinding dan dihubungan oleh gerbang. Pemandian utara berbentuk kotak dengan tujuh kolam dan pemandian selatan terdiri dari 28 kolam.
Kolam Pemandian kraton Ratu Boko
  • Gua : pada situs candi Ratu Boko terdiri dari gua Lanang dan gua Wadon. Penamaan gua tersebut berdasarkan relief pada gua Wadon berupa gambaran alat kelamin wanita (simbol Yoni) di atas pintu, pada umumnya keberadaan Yoni dilengkapi dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang terdapat pada Gua Lanang. Kedua simbol tersebut erat kaitannya dengan penggambaran dewa Siwa dalam agama Hindu. Persatuan antara Yoni-Lingga menjadi simbol dari kesuburan. 
(Maaf, tidak ada gambar, saya sudah lelah mengelilingi kraton Ratu Boko :( Aku hanya semapat melihat dari kejauhan situs Gua Wadon dan gua Lanang yang besar di bagian paling belakang candi Ratu Boko) 
  •  Keputren : tempat tinggal putri, yang terdiri dari dua batur dan terbuat dari batu andesit.
Salah satu karya seni di bagian keputren kraton Ratu Boko
 Simbol yang menandai adanya toleransi umat beragama Hindu dan Budha terlihat dari penemuan situs stupa di dalam candi Ratu Boko yang masih dalam tahapan ekskavasi. Salah satu sudut yang menarik bagi kita yang ingin mengetahui tentang ekskavasi candi secara langsung.

Salah satu sudut ekskavasi dua stupa di bagian belakang kraton Ratu Boko
Seusai perjalanan kita bisa menikmati panorama dari bukit candi Ratu Boko dengan makanan dan minuman yang tersedia di Restoran Sunset Ratu Boko, dinamai demikian karena pemandangan sunset kota Jogja terlihat indah dari bukit candi Ratu Boko. Akan tetapi, penulis hanya bisa memotret pemandangan kota Jogja tanpa matahari terbenam karena kunjungan yang dilakukan di pagi hari yang sejuk :)

Kota Jogja (agak mendung) dari Resto Sunset Boko

Mengunjungi candi Ratu Boko merupakan pengalaman imajinasi  akan kehidupan dan peradaban keraton Jawa masa lalu.

Salam Budaya !



Bookmark and Share

Menikmati Kelana Ketoprak Jawa di Taman Balekambang, kota Solo




"Ketoprak Balekambang Surakarta berpentas di sebuah gedung kesenian yang terletak di kompleks taman milik Mangkunagaran Surakarta. Pemerintah kota telah memberikan subsidi setiap pertunjukan, namun yang lebih penting adalah semangat berpentas para senimannya" (Dwi Oblo, NGI)

Berbekal rasa penasaran dengan ulasan buklet National Geographic Traveler Mei 2013 tentang Kelana Ketoprak Jawa, membuat aku dan suamiku (Imam) merencanakan liburan akhir pekan di bulan Mei dengan menonton Ketoprak di Taman Balekambang, Kota surakarta.
Informasi tentang waktu dan lakon ketoprak aku cari lewat internet, dan gotcha! ketoprak Balekambang bisa kita nikmati pada malam minggu, jam 20.30. Lakok ketoprak pada akhir pekan itu adalah "Joko suro Leno".
Berada di Taman Balekambang, ditemani NG Traveler Mei 2013 dengan ulasan "Kelana Ketoprak Jawa"
Persiapan penabuh gamelan tanpa perlu baju seragam
Kami sampai di Balekambang jam 20.00 dan membeli tiket ketoprak di depan pintu masuk. Penjual tiket sepertinya anak-anak pemain ketoprak :) dan harga tiket masuk Rp.10.000
Begitu semangatnya, kami langsung masuk, eh ternyata belum ada penonton lain. Kru sedang mempersiapkan gamelan dan setting panggung.
Sebenarnya aku sempat pesimis akan banyak penonton ketoprak di Taman Balekambang, melihat malam itu mulai gerimis dan Taman Balekambang terletak menyudut serta sepi.
Tetapi, beberapa saat kemudian tepat jam 20.30 WIB langsung datang banyak penonton dan ternyata rombongan dari satu RT, wealah jadi ayah, ibu, dan anak-anak satu RT menonton rame-rame :D
Penonton Ketoprak malam itu memenuhi separo kursi penonton
Wah, wah, rasanya senang ternyata masih banyak penikmnat ketoprak Jawa dari berbagai generasi.
Adegan diawali dengan guyonan para emban, menari-nari, selanjutnya masuk ke cerita yaitu tentang Joko suro salah satu raja Blambangan.

Aku kurang bisa mendengar percakapan antar pemain, karena ramai percakapan penonton dengan tetangganya, dan anak-anak yang masih jalan-jalan :D
oke, aku nikmati saja suasana itu.
Tarian, nyanyian, dan guyonan para emban mengawali pementasan ketoprak
Nah, hal yang membuat aku tersenyum adalah setelah beberapa saat ada adegan gelut (berkelahi) anak-anak mulai maju ke depan, bersebelahan dengan para penabuh gamelan.
Mereka begitu memperhatikan perkelahian yang terjadi.
Adegan perkelahian digandrungi oleh anak-anak dengan duduk lesehan
suasana yang terekam olehku bahwa masyarakat di solo masih guyub dan penikmat kesenian Jawa. Terlihat dari begitu antusias mereka menikmati perjalanan lakok dari awal sampai selesai jam 22.30.
Bukan waktu yang cepat, terutama bagi anak-anak, akan tetapi anak-anak mereka pun masih penuh perhatian ke panggung, meski kadang berlarian keluar panggung.



Ketoprak Jawa, Balekambang aku rekomendasikan bagi kalian yang ingin menikmati keberadaan masyarakat solo sesungguhnya, serta menikmati budaya Jawa masyarakat agraris.

Informasi lain tentang Ketoprak Jawa Balekambang "Ketoprak Balekambang Surakarta"

salam budaya tradisional !



Bookmark and Share