Sego Kucing dan Angkringan


Mengingat tempat itu.

Di sebelah selatan bangunan, yang dikenal sebagai gereja kaum muda di kota Yogya ada tempat panganan dan wedangan. ‘Angkringan’ sebutan orang Yogya, sedangkan di Solo dikenal dengan nama ‘Hik’. Lengkap dengan nasi bungkus yang dikemas minimalis, sate (ayam, rempelo ati, bahkan di Solo ada beberapa wedangan yang terkenal dengan sate babi), camilan kriuk-kriuk aneka warna, minuman hangat (mulai dengan teh, jeruk, susu, jahe, kopi, bahkan ada menawarkan kopi spesial dengan arang membaranya). Kembali ke angkringan di sisi gereja itu, hanya tempat biasa, tapi spesial buat aku. Tiga tahun lalu, seringkali aku menghabiskan waktu menjelang malam di sana, sepulang dari kerja sebagai guru privat. Minuman kesukaanku, jahe panas. Saat ingin saling berbagi cerita dengan adik perempuanku, seusai misa sore. Selain aku, pacarku, juga menyukai suasana angkringan. Di angkringan itu, saat aku sedang sedih, aku merasakan kesedihan dan kesendirian, bersamaan dengan itu, aku pun merasa bahwa aku tidak sedang sendiri. Temaram lampu minyak yang dihadirkan bersama dengan hangat wedangan dan guyonan-guyonan, menemaniku. Terlebih jika, penjual angkringan ’wong sepuh’ aku merasa lebih nyaman, tidak tahu mengapa (mungkin karena aku masuk dalam kelompok ’oldiest’ menurut angket yang diajukan temanku, hehehe J)

Angkringan menurutku :

1. Tempat yang sederhana, berupa gerobak kayu, kursi kayu, lampu minyak.
2. Tempat yang lebih banyak mendapat penerangan dari sorot lampu kendaraan di
jalanan. Menjadikannya layaknya di ’pub’ dengan sorot lampu putih, kuning, bergantian.
3. Suasana malam, dominan gelap di angkringan, membuat kita mencari kesamaan gelapnya, dengan bagian yang ada di semesta. Biasanya, aku menyamakannya dengan langit malam, karena secara spontan saat berada di angkringan, aku melihat ke atas, mencari bintang, dan akan tersenyum lebar, jika ternyata kudapat bonus bulan purnama.
4. Orang yang mau tidak mau akan menampilkan dirinya apa adanya, sosok penjaga malam dengan kostumnya, anak kost dengan gaya lahap makannya, bapak-bapak kampung dengan kenyamanannya menyeruput kopi dan hembusan asap rokoknya, pasangan kekasih yang mencoba menyamankan pasangannya (keterangan tambahan; pasangannya belum pernah ke angkringan), bahkan pasangan yang dengan santainya bercerita satu sama lain (karena keduanya memang penikmat ankringan)
5. Jarang sekali dijumpai pengamen di angkringan, karena memang angkringan biasa di-ekuivalenkan dengan kelas menengah ke bawah(meskipun aku menyangsikan itu, karena setelah dihitung-hitung, makan di angkringan lebih mahal daripada beli langsung nasi rames di warung – jika kamu tergiur dengan kelengkapan lauk pauk yang disediakan)
6. Banyak sekali variasi lauk pauk dan minuman di angkringan, biasanya jika kita makan di kaki lima, minuman yang umum adalah es teh, teh anget, es jeruk, jeruk anget. Tapi di angkringan, minuman wajib mereka lebih banyak selain empat minuman di atas atas kopi, susu, jahe, kopi jahe, kopi susu, teh jahe, susu jahe (bersukarialah membuat kombinasi minuman di angkringan, dengan senang hati sang penjual akan menyediakannya) Itu baru minuman, belum makanan...hmmm...ada banyak macam nasi ’kucing’ sebutan nasi bungkus kecil, yang isinya nasi sambel, nasi sayur, atau nasi dengan oseng tempe. Satu tidak akan mencukupi perut normal, kecuali jika kau menambahkannya dengan gorengan atau bakaran yang disediakan (sate usus, sate rempela ati, sate daging ayam, tempe tahu bacem, goreng, bakwan, timus (gorengan ketela), pisang goreng, jadah goreng, ’gembus’ goreng, variasi kerupuk kriuknya (apalagi ya?? Oya, babi penggemar daging babi, disediakan pula sate babi, di angkringan/hik di kota Solo, di depan Toko Roti Ganep’s, daerah pasar Legi)
7. silahkan tambahkan alasan kawan-kawan tentang angkringan/hik
8. sekedar pengin tahu, khususnya dari kawan yang pernah mengetahui gerobak makan, identik dengan angkringan/hik di daerah lain.

Sejarah Pemalang

02.53 by deta 0 comments

Keberadaan Pemalang dapat dihubungkan dengan catatan Rijklof Van Goens dan data di dalam buku W. Fruin Mees yang menyatakan bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah merdeka di Pulau Jawa dengan pimpinan seorang pangeran atau raja. Selanjutnya, Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari Mataram menaklukan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya Pemalang. Sejak saat itu Pemalang menjadi daerah vasal Mataram yang diperintah oleh Pangeran atau Raja Vasal.

Pemalang dan Kendal pada masa sebelum abad XVII merupakan daerah penting, diperlihatkan dengan adanya jalan besar penghubung daerah pantai utara dengan daerah pedalaman Jawa Tengah (Mataram) yang melintasi Pemalang dan Wiradesa.

Populasi penduduk sebagai pemukiman di pedesaan berkembang pesat pada abad XVI, yaitu pada masa meningkatnya perkembangan Islam di Jawa di bawah Kerajaan Demak, Cirebon dan kemudian Mataram. Pada masa itu, tahun 1575, Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan tradisional dengan tokoh pimpinan Pangeran Benawa yang berasal dari Pajang.

Pangeran Benawa hanya dapat memerintah selama satu tahun, karena meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Penggarit (sekarang Taman Makam Pahlawan Penggarit).

Pemalang menjadi kesatuan wilayah administrative pada tahun1622, saat pemerintahan R. Mangoneng, Pangonen atau Mangunoneng dengan pusat pemerintahan di sekitar Dukuh Oneng, Desa Bojongbata. Menurut beberapa sumber R Mangoneng merupakan tokoh pimpinan daerah yang ikut mendukung kebijakan Sultan Agung. Seorang tokoh yang sangat anti VOC. Dengan demikian Mangoneng dapat dipandang sebagai seorang pemimpin, prajurit, pejuang dan pahlawan bangsa dalam melawan penjajahan Belanda pada abad XVII yaitu perjuangan melawan Belanda di bawah panji-panji Sultan Agung dari Mataram.

Pada sekitar tahun 1652, Sunan Amangkurat II mengangkat Ingabehi Subajaya menjadi Bupati Pemalang setelah Amangkurat II memantapkan tahta pemerintahan di Mataram setelah pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan dengan bantuan VOC pada tahun 1678.

Menurut catatan Belanda pada tahun 1820 Pemalang kemudian diperintah oleh Bupati yang bernama Mas Tumenggung Suralaya. Pada masa ini Pemalang telah berhubungan erat dengan tokoh Kanjeng Swargi atau Kanjeng Pontang. Seorang Bupati yang terlibat dalam perang Diponegoro. Kanjeng Swargi ini juga dikenal sebagai Gusti Sepuh, dan ketika perang berlangsung dia berhasil melarikan diri dari kejaran Belanda ke daerah Sigeseng atau Kendaldoyong. Makam dari Gusti Sepuh ini dapat diidentifikasikan sebagai makam kanjeng Swargi atau Reksodiningrat. Dalam masa-masa pemerintahan antara tahun 1823-1825 yaitu pada masa Bupati Reksadiningrat.

Sementara itu pada bagian lain dari Buku P.J.F. Louw yang berjudul De Java Oorlog van 1825 -1830 dilaporkan bahwa Residen Van den Poet mengorganisasi beberapa barisan yang baik dari Tegal, Pemalang dan Brebes untuk mempertahankan diri dari pasukan Diponegoro pada bulan September 1825 sampai akhir Januari 1826. Keterlibatan Pemalang dalam membantu Belanda ini dapat dikaitkan dengan adanya keterangan Belanda yang menyatakan Adipati Reksodiningrat hanya dicatat secara resmi sebagai Bupati Pemalang sampai tahun 1825. Dan besar kemungkinan peristiwa pengerahan orang Pemalang itu terjadi setelah Adipati Reksodiningrat bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berakibat Belanda menghentikan Bupati Reksodiningrat.

Dalam laporan yang terbit pada awal abad XX disebutkan bahwa Pemalang merupakan Kabupaten dari karisidenan Pekalongan. Pusat Kabupaten Pemalang yang pertama terdapat di Desa Oneng dengan sisa peninggalan berupa dukuh Oneng, Desa Bojongbata. Pusat Kabupaten Pemalang yang kedua berada di Ketandan dengan sisa-. sisa bangunan disekitar Klinik Ketandan (Dinas Kesehatan). Sedangkan, Pusat Kabupaten yang ketiga adalah kantor kabupaten yang sekarang ini (berada dekat dengan Alun-alun Kota Pemalang). Kabupaten Pemalang merupakan sisa dari bangunan yang didirikan oleh Kolonial Belanda dan telah mengalami rehab menjadi bentuk joglo.

Namun berdasarkan diskusi para pakar yang dibentuk oleh Tim Kabupaten Pemalang Hari Jadi Pemalang adalah tanggal 24 Januari 1575. Ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Kabupaten Pemalang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang.

Geografi

Ibukota kabupaten ini berada di ujung barat laut wilayah kabupaten, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Pemalang berada di jalur pantura Jakarta-Semarang-Surabaya, dengan jalan propinsi yang menghubungkan Pemalang dengan Purbalingga.

Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Secara astronomis Kabupaten Pemalang terletak antara 109°17′30″ – 109°40′30″ BT dan 8°52′30″ – 7°20′11″ LS.

Dari Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten ini berjarak kira-kira 135 Km ke arah barat, atau jika ditempuh dengan kendaraan darat memakan waktu lebih kurang 3 – 4 jam. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah sebesar 111.530 km², dengan batas-batas wilayah :

• sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
• sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga
• sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan.
• sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal.

Kabupaten Pemalang memiliki topografi bervariasi. Bagian Utara Kabupaten Pemalang merupakan daerah pantai dengan ketinggian berkisar antara 1 – 5 meter di atas permukaan laut. Bagian tengah merupakan dataran rendah yang subur dengan ketinggian 6 – 15 m di atas permukaan laut dan bagian Selatan merupakan dataran tinggi dan pengunungan yang subur serta berhawa sejuk dengan ketinggian 16 – 925 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Pemalang ini dilintasi dua buah sungai besar yaitu Sungai Waluh dan Sungai Comal yang menjadikan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah aliran sungai yang subur.

Pembagian administratif

Kabupaten Pemalang terdiri atas 14 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pemalang.

Keempatbelas kecamatan di Kabupaten Pemalang yaitu:

1. Bodeh
2. Ulujami
3. Comal
4. Ampelgading
5. Petarukan
6. Taman
7. Pemalang
8. Bantarbolang
9. Randudongkal
10. Warupring
11. Moga
12. Pulosari
13. Watukumpul
14. Belik

Kabupaten Pemalang kebanyakan merupakan suku Jawa. Di bagian barat dan selatan, penduduknya bertutur dalam bahasa Jawa dialek Tegal, sedangkan di bagian timur seperti di Petarukan, Comal, Ulujami, Ampelgading dan Bodeh bertutur dalam bahasa Jawa dialek Pekalongan.

Pada masa itu, tahun 1575, Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan tradisional dengan tokoh pimpinan Pangeran Benawa yang berasal dari Pajang.



Bookmark and Share