Menikmati Dieng di Akhir Pekan

Icus - Deta (penulis) - Lilin, di tepi Telaga Warna
Libur akhir pekan telah tiba dan kami pekan ini merencanakan ke Dieng, bertepatan dengan acara seni Simfoni Dieng. Masukan untuk teman-teman lain memiliki niat untuk ke Dieng pertama kali dan bahkan perlu ijin kantor beberapa hari sebelumnya. Saya sarankan untuk merencakan di bulan Agustus. Ternyata di bulan Agustus ada banyak acara di Dieng. Pada bulan Agustus 2014, kegiatan yang bisa dilakukan oleh para wisatawan antara lain : Minggu I, acara pemotongan rambut gimbal dan Simfoni Dieng; tgl 17 Agustus banyak pendaki gunung melakukan pendakian khusus ke Gunung Prau, Wonosobo di malam menjelang tanggal kemerdekan Indonesia, kegiatan-kegiatan di bulan Agustus diakhiri dengan perayaan seni akbar Dieng Culture Festival V dimeriahkan dengan pertunjukan jazz di alam terbuka Telaga Warna dan upacara pemotongan rambut gimbal di Candi Arjuna. 

Akhir Pekan lalu, tepatnya tgl 9-10 Agustus 2014, saya dan suami, serta 2 teman merencanakan menikmati pagelaran sendratari kolaborasi dengan orkerstra dan gamelan di acara Simfoni Dieng. Kami memesan tiket yang kebetulan bisa dibeli di Yogyakarta (tiket VIP Rp. 100.000), langkah kedua adalah mencari homestay, karena saya memperkirakan meskipun Dieng terkenal dengan kota seribu homestay, tapi karena ini merupakan pengalaman pertama, maka saya mempersiapkan dengan browsing tentang homestay-homestay pilihan wisatawan, mulai dari juara lomba I homestay dan pernah diinapi oleh artis ibukota : Homestay Asoka (telpon, dan sudah full booked), yup ganti Homestay Dieng Pass (telpon, dan sudah full booked), Resto dan Hotel Bu Jono juga full booked. Nah, ke Homestay Juara Harapan I Pengelolaan Homestay se-Jawa Tengah, Homestay Dahlia (ternyata masih ada kamar, saya pesan untuk dua kamar (Single Bed untuk dua orang per kamar Rp. 175.000) Oya, tarif homestsay berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Harga Reguler Rp. 150.000, harga Weekend Rp. 175.000, harga sewaktu event special misal Dieng Culture Festival, kamar di Homestay Dahlia sudah fullbooked dengan harga Rp. 300.000. Jadi jangan kaget, jika pas Anda browsing untuk harga homestay akan diperoleh nominal yang berbeda-beda. Pemilik Homestay Dahlia adalah pak Nuryadi dan bu Iin Pangestuti yang bertempat tinggal di lantai dua. Fasilitas homestay Dahlia : air panas (semua homestay di Dieng pasti menyediakan fasilitas air panas ini), teh dan kopi disediakan dan bebas membuat kapanpun juga, televisi dipusatkan di tengah ruangan homestay (sepengetahuan saya dari 10 orang yang menginap hari itu, tidak ada yang melihat TV, karena kami sudah diasyikan dengan mengunjungi berbagai tempat wisata di Dieng). Oya, fasilitas khusus yang secara tidak langsung diterima oleh wisatawan jika menginap di homestay Dahlia, adalah kita dihadapkan dengan area Candi Arjuna (salah satu situs dan candi yang terkenal di Dieng) kami menuju Candi Arjuna melewati jalan kecil di tengah sawah menuju candi. Hal unik dari homestay di Dieng adalah tidak ada satupun homestay yang memiliki pendingin ruangan / AC hehehehe karena suhu ruang di Dieng bahkan lebih dingin daripada AC. 

Oya, kita tidak dapat mengandalkan ketersediaan transportasi umum untuk mencapai tempat-tempat wisata daerah Dieng. Oleh karena itu, disarankan untuk menyewa motor atau membawa mobil pribadi. Kebetulan sekali, pemilik Homestay mempersilahkan kami untuk menyewa motor selama kami di Dieng. Tarif penyewaan motor Rp. 50.000 per hari/motor. Transportasi umum Yogyakarta-Wonosobo hanya bisa dilakukan dengan travel (tidak ada bus untuk rute tersebut). Selanjutnya untuk persiapan kami memilih transportasi travel untuk perjalanan Yogyakarta-Wonosobo dengan Shuttle Elf Sumber Alam (harga tiket Rp. 45.000) keberangkatan pada jam 14.00 dari Terminal Jombor, Yogyakarta, sekalian menitipkan motor di Terminal Jombor. Ternyata perjalanan Yogyakarta-Wonosobo via Salaman, Magelang sangat menantang karena jalanan yang berkelok-kelok didukung dengan suspense mobil yang tidak nyaman. Saya menahan rasa mual. Pilihan saya menggunakan travel karena kami berempat belum ada yang bisa mengendarai mobil ^_^. Apabila Anda atau teman tim bisa mengendarai penggunaan mobil pribadi akan menambah kenyamanan perjalanan Anda.

Agenda acara kita pertama adalah menghadiri acara Simfoni Dieng (9 Agt 2014) di Dieng Plateau Theatre.Perjalanan dari homestay ke Dieng Plateau Theatre (DPT) menggunakan motor sewaan selama 15 menit. Pagelaran ini memiliki konsep cerita tentang awal keberadaan Dieng yang dimeriahkan oleh ratusan penari dengan berbagai kostum, dengan iringan perangkat music orchestra dan gamelan. Area bagi penonton pertunjukan dibagi menjadi dua bagian, yaitu VIP dan festival. Acara ini juga dimeriahkan Yoda Idol (yang tidak hafal lirik dan membawa smartphone untuk membaca lirik (-_-). 
Sebenarnya pertunjukan tersebut mengundang banyak minat wisatawan, karena kebetulan baru kali ini pagelaran Simfoni Dieng diadakan terpisah dari penyelenggaraan Dieng Culture Festival. Akan tetapi, saya merasa bahwa konsep dari sisi koreografer (cerita, tarian, kostum, dan music) bisa lebih ditingkatkan untuk pertunjukan tahun depan. Keterbatasan area pertunjukan DPT membuat situasi panggung sempit. Selain itu, tiang tiang penyangga DPT menyulitkan para fotografer dalam memotret keseluruhan panggung. Apabila, tahun depan diadakan acara yang sama, diharapkan venue yang lebih memadai. Pada acara ini, panitia diharapkan memberikan batasan yang jelas, tidak cukup dengan pita, serta melakukan pengunjung sampai pada kursi pertunjukan yang menjadi hak mereka. Banyak pengunjung kelas Festival yang berada di kursi kelas VIP (sengaja atau tidak sengaja), sehingga banyak pengunjung kelas VIP tidak kebagian tempat duduk. Apabila di setiap area kelas terdapat panitia pengatur pertunjukkan maka kejadian tersebut dapat diminimalkan. 


Penari Simfoni Dieng 2014 - penggambaran gerak petani bahagia  
Ketangguhan dan Kemantapan langkah penari Simfoni Dieng 2014

Penari Simfoni Dieng 2014 dalam gerakan perang

Rencana kami keesokan harinya menikmati golden sunrise di Bukit Sikunir, Dusun Sembungan, Dieng. Berdasarkan informasi dari pak Nuryadi kami maksimal mulai berangkat dari homestay jam 04.00 supaya bisa mendapatkan moment terbit matahari di Bukit Sikunir (2400 m dpl) yang masih masuk daerah Dusun Sembungan (desa tertinggi di Jawa). Perjalanan dari homestay ke Bukit Sikunir kurang lebih 30 menit, karena udara yang sangat dingin dan jalan dari Kawah Sikidang ke Bukit Sikunir sangat rusak. Penggunaan motor matic dengan body diperpendek cukup menyulitkan kami melalui rute tersebut. Ketika mulai masuk daerah Bukit Sikunir kami membayar tiket masuk Rp. 5000/orang, selanjutnya perjalanan kurang lebih 5 menit kami ditarik karcis parkir motor Rp. 2000/motor. Persiapan yang perlu Anda lakukan sebelum mendaki Bukit Sikunir antara lain : pakaian hangat (jaket dan selendang leher), celana gunung (penggunaan celana jeans akan menyulitkan gerak dan membuat semakin dingin), penutup kepala, kaos tangan, sandal bergerigi atau sepatu kets. Meskipun dengan sandal wedges pun saya yakin Anda bisa mendaki, karena saat itu saya melihat ada beberapa perempuan menggunakan wedges saat mendaki (tapi saya tidak bisa membayangkan sakitnya kaki menggunakan wedges saat mendaki, hehehehe). 

Perjalanan dari kaki sampai ke puncak Bukit kurang lebih 30 menit (perjalanan santai, diselingi istirahat di beberapa titik, maklum tidak pernah mendaki bukit atau gunung sebelumnya, hehehe). Mungkin Anda berpikir, hanya anak-anak muda yang merencakan agenda ini. Ternyata ada orang tua dengan anaknya, bahkan kakek dengan anak dan cucunya mendaki bersama. Kami bertemu di puncak dengan para bapak, ibu dan kakek. Jadi, jika Anda masih muda, cobalah untuk menikmati matahari terbit di atas Bukit Sikunir, cahaya merah oranya, semburat mengawali sebelum bulatan matahari muncul sedikit demi sedikit di batas cahaya, dengan latar belakang gunung gemunung dan bukit-bukit, serta hamparan awan putih. Anda masuk dalam bingkai alam, mengawali hari.


menikmati munculnya matahari dari Bukit Sikunir
Matahari pagi bersanding dengan putih awan dan gunung Sindoro
- golden sunrise, 10 Agt 2014, Bukit Sikunir -
Penting untuk diperhatikan, karena pengunjung Bukit Sikunir di akhir pekan sangat banyak, sangat bijak apabila Anda menikmati terbit matahari tanpa merokok, keterbatasan udara di atas bukit ketinggian 2400an meter dpl tersebut akan membuat para pengunjung akan merasa sangat terganggu karena oksigen yang seharusnya mereka hirup di udara yang sejuk itu, dikotori oleh karbondioksida dan gas beracun dari asap rokok Anda. Bagi saya, omong kosong Anda mensyukuri alam dengan mendaki di atas bukit atau gunung, apabila Anda tidak memperhatikan kebutuhan sesama untuk mendapatkan udara bersih dan sehat. Setelah menikmati keindahan matahari terbit selama 1 jam, kami turun kembali ke kaki bukit dan disambut dengan pertunjukkan musik tradisional di dekat telaga. Sembari menunggu kedua teman kami, maka saya memesan teh hangat di warung serta makan kentang balado. Beberapa wisatawan lain menikmati pop mie hangat. 

Perjalanan obyek wisata berikutnya adalah Telaga Warna, karena obyek tersebut kami lewati sepulang dari bukit Sikunir. Telaga warna memiliki landskap danau yang indah, hanya saja keindahannya agak terganggu oleh sampah dan air yang berbau. Sehingga saya merasa kurang nyaman berada di tepi danau, kecuali untuk berpose saja. 

Ternyata udara dingin, membuat kami mudah kelaparan, hehehehe. Perjalanan pulang pun diselingi dengan makan pagi. Sebenarnya kami ingin makan pagi di Resto Bu Jono yang lumayan terkenal oleh para backpacker dan pernah masuk liputan televisi, tapi ternyata jam 07.00 resto bu Jono masih tutup. Akhirnya, kami ke Rumah Makan Bu Mien, di belakang resto bu Jono. Menu yang disediakan lengkap dari nasi rames, lauk dan sayur baru saja selesai dimasak, serta mie dan nasi goreng. Harga mie dan nasi goreng dalam kisaran Rp. 12.000 – Rp. 17.000. Kami kembali ke homestay jam 09.30, selanjutnya mandi dan packing. Agenda selanjutnya mengunjungi kompleks Candi Arjuna. Kami berjalan melewati pematang sawah di depan homestay menuju Candi Arjuna. Sebenarnya, rute ini bukan rute resmi, kami mengetahui dari obrolan dengan bapak-bapak di depan homestay “lewat, mrika kemawon mbak, nyebrang sawah. Mlebet candi gratis. Manawi lewat gerbang, mangke mbayar mbak” oke deh, kami manut pak ^_^ 

Candi Arjuna terdiri dari sebuah candi utuh, dan beberapa situs candi yang belum lengkap. Secara keseluruhan sebenarnya landskap Candi Arjuna sangat menarik, karena latar belakang bukit-bukit. Serta area candi yang luas. Candi Arjuna merupakan salah satu ikon wisata Dieng, nampak dari perhelatan utama untuk tradisi pemotongan rambut gimbal di Dieng Culture Festival mengambil venue tempat tersebut.
Jasa foto bersama (Rp. 5000/foto) dengan makhluk mitologi Jawa (butho), Anoman, dan teletubies memeriahkan suasana sekitar candi. Interaksi dengan petani di sekitar candi juga sangat mengasyikan, banyak cerita tentang perjuangan mereka bercocok tanam wortel yang terkadang gagal karena hujan es. 

Butho dan Anoman di Candi Arjuna

Butho dalam balutan topeng, setia menunggu pelanggan

Keluarga Pak Sunyoto, salah satu dari
ekian petani wortel di sekitar Candi Arjuna

senyum pak Sunyoto untuk memulai menggarap
lahan wortel yang telah gagal bulan lalu

Navis (5 tahun), cucu pak Sunyoto, salah satu cah Gimbal
ujarnya "jika kelak dipotong, dia hanya ingin dua buah es"

Setelah puas menikmati candi Arjuna, kami segera merencanakan untuk segera pulang ke Yogyakarta. Perjalanan diawali dengan menunggu bus umum di pertigaan Dieng (depan Indomaret) dengan biaya Rp. 12.500 kami menuju Wonosobo kurang lebih 1 jam. Tujuan kami adalah Agen bus Sumber Alam, untuk sarana transportasi kembali ke Yogyakarta. Kami sengaja tidak memesan tiket Sumber Alam terlebih dahulu karena kami belum bisa memprediksi waktu selesai pendakian Bukit dan mengeksplorasi Candi Arjuna, serta lama perjalanan bus kota. Risiko yang terjadi dan sudah menjadi perhitungan adalah kami tidak memperoleh tiket travel ke Yogyakarta. Syukurlah, saya meminta nomor telpon sopir sewaktu kami menggunakan taksi dari Wonosobo ke Dieng. Sehingga, kami mencoba menghubungi sopir tersebut dan meminta informasi tentang ketersediaan taksi ke Yogyakarta. Akhirnya, kami memperoleh taksi kembali ke Yogyakarta dengan tarif Rp. 450.000 (nego). 

Oya, kami pun minta tolong mas Dwi (sopir taksi) untuk mengantarkan kami ke toko oleh-oleh, karena kami berniat membeli carica dan keripik jamur. Toko oleh-oleh menyediakan banyak merk carica dari harga Rp. 25.000 – 65.000 per dus. Rasa carica merk satu dengan yang lain hampir sama, dan harga keripik jamur tiram Rp. 14.000, jamur kuping Rp. 20.000. Perjalanan Wonosobo-Yogyakarta via taksi berlangsung selama 3 jam, tentunya dengan tempat duduk yang lebih lega dan nyaman. 

Resume transportasi, akomodasi, dan logistik liburan Yogyakarta-Dieng 2 hari 1 malam, yaitu :
  1. Transportasi Yogyakarta – Wonosobo dengan travel Sumber Alam Rp. 45.000 
  2. Transportasi Wonosobo – Dieng menggunakan DNA Taksi Wonosobo Rp. 120.000 (argometer)
  3. Homestay Dahlian Rp. 175.000/malam
  4. Sewa motor Rp. 50.000/motor (tidak termasuk bensin)
  5. Makan pagi di Rm. Bu Mien Rp. 15.000 (mie goreng jamur)
  6. Transportasi Dieng – Wonosobo dengan bus kota Rp. 12.500/orang
  7. Transportasi Wonosobo – Yogyakarta dengan DNA Taksi Wonosobo Rp. 450.000
Selamat menikmati keindahan Nusantara, keindahan Jawa Tengah, keindahan Dieng ^_^
Salam santai.....



Bookmark and Share